TrikInternet Gratis 3 Modem Terbaru - Trik Internet Gratis 3 Modem Terbaru + Squid CCPB diobral diobral siapa yang mau Trik Internet Gratis 3 Modem !.Pada saat tarif langganan 3 data masih berlaku Rp.25.000,00/30 hari (quota 500Mb) sih ane masih tetep setia ketik MAU spasi 500Mb, namun semenjak tarifnya naik menjadi Rp.35.000,00/30 hari (quota masih tetep 500Mb) ane mulai blogwalking
MasaDepan Pariwisata Budaya di Bali Dalam Perspektif Teknologi Informasi Ngaben sebenarnya adalah istilah yang biasa digunakan untuk golongan masyarakat umum seperti yang diatur dalam struktur sosial masyarakat adat Bali. Sedangkan dari kalangan bangsawan atau keluarga kerajaan prosesi itu disebut dengan Pelebon.
mahkluk yg lebih tinggi di bandingkan manusia sbg wakil tuhan di muka bumin yg kekuasaanya di peroleh melalui wahyu\wangsit. 2.Legitimasi kekuasaan raja-raja Hindu-Budha di jawa di asalkan pada tuhan sendiri. 3.kekuasaan-kekuasaan raja-raja hindu-budha bersifat turun-menurun. ISLAM.
Persatuandalam sila ketiga ini meliputi makna persatuan dan kesatuan dalam arti idiologis, ekonomi, politik, sosial budaya, dan keamanan. Nilai persatuan ini dikembangkan dari pengalaman sejarah bangsa Indonesia yang senasib. Nilai persatuan itu didorong untuk mencapai kehidupan kebangsaan yang bebas dalam wadah negara yang merdeka dan berdaulat.
Telahkita ketahui Indonesia memiliki banyak sekali budaya dan adat istiadat yang juga berhubungan dengan masyarakat dan agama. Dari berbagai budaya yang ada di Indonesia dapat dikaitkan hubungannya dengan agama dan masyarakat dalam melestraikan budaya.Sebagai contoh budaya Ngaben yang merupakan upacara kematian bagi umat hindu Bali yang sampai sekarang masih terjaga kelestariannya.
Penelitianini membahas tentang Nilai-nilai Sosial Dalam Budaya Maulidan Suku Sasak Bayan Desa Karang Bajo Kecamatan Bayan kabupaten Lombok Utara Tahun 2017 dimana yang menjadi tujuan penelitian
PZiK. Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Korupsi merupakan masalah serius yang merajalela di banyak negara. Di Indonesia sendiri korupsi dapat merusak integritas dan kepercayaan publik terhadap pemerintah dan lembaga-lembaga masyarakat, korupsi juga telah masuk kedalam ranah organisasi masyarakat. Korupsi tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi dapat menghambat pembangunan, menciptakan adanya ketidakadilan sosial, dan dapat meningkatkan kemiskinan serta ketimpangan pendapatan. Untuk saling menjaga kepercayaan dan memerangi korupsi, aksi anti korupsi harus dijalankan dalam organisasi masyarakat dengan inovasi dan transparansi. Dalam blog ini, saya akan menjelaskan mengapa inovasi dan transparansi merupakan kunci keberhasilan dalam perwujudan aksi anti korupsi dalam organisasi masyarakat. Selain itu, juga akan dibahas beberapa aksi nyata yang dapat dilakukan oleh mahasiswa untuk mendukung perjuangan anti Inovasi dalam Perwujudan Aksi Anti KorupsiInovasi adalah elemen penting dalam upaya memerangi korupsi. Inovasi memiliki peran penting dalam perwujudan aksi anti korupsi dalam organisasi masyarakat. Organisasi masyarakat yang inovatif mampu menghasilkan metode dan strategi baru dalam melawan korupsi. Melalui inovasi, organisasi masyarakat dapat mengembangkan metode dan pendekatan yang efektif untuk mencegah dan menindak korupsi. Inovasi ini melibatkan penggunaan teknologi dan pengembangan sistem yang dapat mempermudah pelaporan, pemantauan transaksi keuangan dan informasi tentang tindak korupsi yang dapat dikumpulkan, dianalisis dan disebarkan dengan lebih cepat dan akurat. Misalnya, penggunaan aplikasi seluler yang memiliki fitur untuk melaporkan kasus korupsi secara anonim memungkinkan masyarakat untuk berpartisipasi secara aktif dalam memerangi atau memberantas korupsi tanpa takut dengan represi. Dengan menggunakan sistem digital dalam pelaporan dan pengelolaan keuangan organisasi dapat ditingkatkan. Selain itu, penggunaan teknologi dapat memudahkan pengawasan dan pelacakan transaksi keuangan yang mencurigakan. Misalnya, dengan adanya sistem pembayaran digital, setiap transaksi dapat tercatat secara otomatis dan dapat dilacak dengan mudah oleh pihak yang berwenang. Selain itu, inovasi juga dapat diterapkan dalam pembentukan lembaga pengawas di dalam organisasi masyarakat. Lembaga ini bertugas untuk mengawasi dan memastikan integritas dan transparansi dalam kegiatan organisasi. Dengan adanya lembaga pengawas ini proses pengambilan keputusan dapat lebih objektif dan terhindar dari pengaruh korupsi dan dengan transparansi yang ditingkatkan, organisasi masyarakat dapat mengidentifikasi dan menghentikan praktik korupsi dengan lebih efektif. 2. Transparansi sebagai Landasan Utama Selain inovasi, transparansi juga menjadi landasan utama dalam perwujudan aksi anti korupsi dalam organisasi masyarakat. Transparansi mengacu pada keterbukaan informasi dan aksesbilitas dengan pengelolaan keuangan dan operasional organisasi. Transparansi dapat diwujudkan melalui kebijakan publikasi laporan keuangan dan kinerja operasional organisasi. Dengan adanya transparansi, masyarakat dapat memastikan bahwa dana dan sumber daya yang dialokasikan untuk aksi anti korupsi digunakan dengan tepat dan efisien. Hal ini dapat mencegah terjadinya penyelewengan dana dan korupsi. Selain itu, transparansi juga dapat membangun kepercayaan publik terhadap organisasi tersebut dapat bekerja dengan integritas dan bertanggung jawab. Kepercayaan publik yang tinggi akan memperkuat dukungan dan partisipasi masyarakat dalam perwujudan aksi anti korupsi. Selain itu, transparansi juga dapat ditingkatkan melalui partisipasi aktif anggota organisasi dalam pengambilan keputusan. Dengan melibatkan anggota dalam proses pengambilan keputusan, organisasi masyarakat dapat memastikan bahwa dengan adanya kepercayaan dan sumber daya yang berkualitas aksi anti korupsi ini dapat berjalan dengan efektif dan Sinergi Inovasi dan Transparansi dalam Perwujudan Aksi Anti Korupsi Inovasi merujuk pada kemampuan untuk menghasilkan ide-ide baru, kekreatifan dan penggunaan teknologi terbaru dalam mengatasi tantangan yang ada dijaman sekarang. Dalam konteks perwujudan aksi anti korupsi, inovasi menjadi salah satu kunci keberhasilan karena korupsi sendiri merupakan masalah yang terus berkembang dan beradaptasi seiring berjalannya perubahan zaman. Oleh karena itu, diperlukan tindakan inovatif untuk mengatasi tantangan ini. Aksi nyata sebagai Mahasiswa yang ingin berkontribusi dalam perwujudan aksi anti korupsi dalam organisasi masyarakat, berikut adalah beberapa langkah yang dapat kita lakukan Inovasi dalam Teknologi dan Sistem Informasi pemanfaatan teknologi dan sistem informasi dapat membantu meningkatkan transparansi dalam administrasi serta pelaporan dan Kesadaran Masyarakat Pendidikan dan kesadaran masyarakat berperan penting dalam membangun budaya anti korupsi. Inovasi dalam pendidikan diharapkan dapat memasukkan pemahaman tentang korupsi, serta menyebarkan kesadaran dan melibatkan banyak masyarakat dalam aksi anti korupsi melalui media sosial atau kampanye digital. Sebagai mahasiswa kita dapat memulai dengan membangun pemahaman yang kuat tentang korupsi, dampak negatifnya, pentingnya transparansi dengan cara mengikuti seminar atau workshop tentang integritas, pencegahan korupsi, dll. Selain itu kita juga dapat mensosialisasikan kepada teman-teman, keluarga dan masyarakat melalui kampanye sosial atau kegiatan pendidikan Mahasiswa Mengikuti dan bergabung dengan kelompok mahasiswa yang fokus pada pemberantasan korupsi dan transparansi. Dalam berpartisipasi aktif dalam kegiatan tersebut kita dapat berkontribusi pada proyek-proyek anti-korupsi yang sedang berjalan, seperti kampanye transparansi anggaran atau pemantauan penggunaan dan Inovasi Riset sangat diperlukan dalam pemberantasan kasus korupsi karena melalui penelitian, kita dapat melakukan studi kasus, menganalisis keberhasilan suatu strategi anti-korupsi lainnya. Dengan berbagai temuan rokemendasi kita maka kita dapat mempengaruhi organisasi masyarakat untuk menerapkan langkah-langkah yang lebih efektif untuk melawanan Transparansi Kita dapat mendorong organisasi masyarakat untuk meningkatkan transparansi dalam kegiatan organisasi tersebut dengan mendorong penggunaan teknologi melalui platform online yang memungkinkan partisipasi publik dan pemantauan terhadap tindakan korupsi yang dan Advokasi Kita dapat membuat kempanye sadar anti-korupsi yang dapat membangun momentum di kalangan mahasiswa dan masyarakat umum. Kita dapat mensosialisasikan tujuan dan nilai-nilai anti-korupsi melalui media sosial, acara publik, tulisan opini atau melalui petisi online. Kita juga dapat mengajak bekerja sama atau kolaborasi dengan organisasi mahasiswa dari berbagai UKM ataupun antar universitas, hal ini dapat memperkuat pengaruh dan dampak dari aksi anti-korupsi yang dan Integritas Pribadi Jadilah teladan yang baik dalam mempraktikan sikap dan etika sehari-hari. Dimulai dari diri sendiri dengan cara menghindari tindakan korupsi kecil seperti suap menyuap. Lihat Pendidikan Selengkapnya
Upacara Ngaben dilakukan secara turun-temurun sampai saat ini. Umat Hindu Bali golongan kurang mampu sering melakukan upacara Ngaben secara bersamaan atau , massal, karena bertujuan untuk menghemat biaya, biasanya jasad orang meninggal dikebumikan dahulu, kemudian dingaben ketika biasa sudah bagi yang berada akan menyegerakan prosesi upacara ini secepatnya. Tak jarang menyimpan jasadnya di rumah untuk sementara sambil menunggu hari baik menurut kepercayaan Upacara NgabenTata Cara Upacara NgabenJenis – jenisKesimpulanTerdapat tiga tujuan utama dari diadakannya Upacara Ngaben khas Bali ini. Tujuan utamanya adalah untuk mensucikan roh Umat Hindu yang sudah meninggal dan mempercepat proses kembalinya jasad yang telah mati ke alam asalnya. Ini diambil dari kitab suci veda samhita, lebih tepatnya isi dari yujurveda, tersurat bahwa setiap orang Hindu yang meninggal dunia wajib dijadikan abu, agar atmanya mencapai moksa atau yang kedua adalah untuk mengembalikan Panca Maha Bhuta. Panca Maha Bhuta sendiri adalah unsur-unsur pembentuk badan kasar manusia. Hal itu dikarenakan masyarakat Hindu Bali percaya bahwasanya badan manusia terdiri dari badan kasar dan badan halus. Badan kasar adalah raga tempat persinggahan roh yang jika telah meninggal harus dikembalikan kepada sang TerkaitBadan kasar itu pun terdiri atas lima unsur. Unsur-unsur tersebut diantaranya unsur pertiwi yang biasanya terdiri dari sesuatu yang padat seperti daging, tulang, kuku. Selanjutnya adalah apah yaitu termasuk unsur cair, kemudian bayu atau sering disebut sebagai unsur udara seperti teja dan unsur panas. Dan yang terakhir adalah akasa atau unsur ether yaitu segala sesuatu yang memunculkan rongga pada tubuh manusia melalui terakhir adalah sebagai bentuk rasa ikhlas. Ketika sebuah keluarga ditinggalkan oleh seseorang, maka harus melakukan yang namanya prosesi upacara Ngaben sebagai bentuk keikhlasan mereka melepas anggota keluarga yang telah lebih dulu meninggalkan dunia. Dengan melakukan ritual ini maka tidak ada lagi air mata kesedihan menghiasi wajah para keluarga yang Cara Upacara NgabenPelaksanaan upacara ngaben, foto oleh merdeka,comProses upacara Ngaben diawali dengan menentukan hari baik oleh pendeta Umat Hindu. Jauh-jauh hari sebelum ketetapan tanggal, keluarga dari orang yang meninggal, menyiapkan “bade dan lembu”, yang dibuat dari kayum, bambu, kertas warna-warni sesuai dengan golongan sosial mendiang. Setelah itu diadakan berbagai rangkaian ucapaca. Dengan sarana berupa sajen dan kelengkapannya sebagai simbol seperti ritual lain Umat Hindu Bali. Ketika menentukan tanggal dan hari baik untuk melaksanakan Upacara Ngaben, waktu yang dibutuhkan tidak sedikit bahkan hingga berhari-hari. Selama itu pula, jasad para orang yang meninggal akan diberi ramuan yang berfungsi untuk memperlambat pembusukan. Namun pada masa sekarang ini, penggunaan formalin yang jauh lebih praktis digunakan oleh hampir setiap keluarga untuk mencegah pembusukan jasad secara itu, sebelum dilaksanakannya prosesi upacara Ngaben maka jasad hanya dikatakan tertidur. Dikarenakan masih dianggap hanya tertidur untuk sementara waktu, maka para keluarga harus melayaninya sesuai dengan saat mereka masih hidup seperti menyediakan makan dan minuman untuk mereka. Ketika hal ini terjadi, tidak ada air mata menetes dari para anggota keluarga karena mereka menganggap bahwa kematian bukan untuk ditangisi melainkan adalah sebagai suatu fase untuk mengantarkan roh ke ini dilakukan tidak hanya kepada jenazah yang memiliki jasad saja, bagi korban kecelakaan terseret air laut, atau kejadian bom Bali lalu, tetap bisa dilakukan dengan mengambil tanah di kejadian lokasi, lalu ikut mendiang yang masih memiliki jasad, tata cara upacara ngaben terdiri dari proses pemandian jenazah, ngajum, pembakaran dan nyekah. Setiap tahapan ini memiliki sesajen yang pemandian jasad atau ritual nyiramin layon dilakukan setelah keluarga mendapat hari baik dari pendeta. Setelah proses pemandian, jasad akan dikenakan pakaian adat bali lengkap. Selanjutnya prosesi ngajum atau proses pelepasan roh menggunakan simbol kain yang dibentuk dengan simbol-simbol penyucian jasad diusung ke tempat pengabenan menggunakan wadah jenazah untuk proses pembakaran atau ngaben yang dilakukan di kuburan desa setempat. Biasanya wadah ini berbentuk padma atau simbol Rumah Tuhan. Upacara Ngaben di Bali, foto oleh doripos,comSetelah jenazah sampai di kuburan, selanjutnya dipindahkan ke pamalungan, pembakar jenazah yang terbuat dari tumpukan batang pohon pisang berbentuk lembu. Di lokasi pembakaran juga dilakukan upacara penyucian roh oleh pendeta atau orang yang mumpuni, dengan menggunakan pralina, yaitu api abstrak yang diiringi mantra peleburan kotoran atma yang ada di dilanjutkan peleburan jasad menggunakan api abstrak yang diiringi mantra peleburan kotoran atma yang ada di jasad. Kemudian dilanjutkan peleburan jasad menggunakan api konkrit. Untuk sekarang menggunakan api dari tabung gas. Biasanya prosesi pembakaran jasad menjadi abu, membutuhkan waktu sekitar 1 jam. Abu yang sudah terbentuk dikumpulkan ke dalam kelapa gadhing untuk dijadikan sekah, yang kemudian akan berakhir dilarungkan ke laut. Jenis – jenisDalam pelaksanaannya, upacara ini terdapat beberapa macam tata cara, tergantung dengan kemampuan sang keluarga mendiang yang ditinggalkan, tentunya juga dengan kebijakan turun-temurun adat. Umumnya pelaksanaan ini dibagi berdasarkan kasta karena setiap upacara pasti memerlukan biaya yang cukup besar. Namun, hal ini bisa disiasati dengan ngaben sederhana. Kali ini munus akan merangkum jenis Upacara Ngaben yang tergolong upacara sederhanaMendhem Sawa, bermakna penguburan mayat. Yaitu ritual penguburan jenazah untuk dikuburkan di waktu yang tepat. Selain itu penguburan ini juga memiliki filosofi untuk menundukkan ragha sarira dengan prthiwi. Ngaben Mitra Yajna, Jenis selanjutnya adalah Ngaben Mitra Yajna. Nama Ngaben Mitra Yajan sendiri diambil dari kata Pitra leluhur dan Yajna korban suci Istilah ini digunakan untuk menyebutkan jenis ngaben yang diajarkan pada Lontar Yama Purwana Tattwa dari sabda Sabda Bhatara Yama. Dalam sabdanya tidak disebutkan nama tipe ngaben ini, maka dari itu untuk membedakan dengan ngaben sederhana lainnya, maka disebut dengan Ngaben Mitra Yajna. Pelaksanaannya juga berbeda, proses pembakaran mayat ditetapkan sesuai ketentuan dalam Yama Purwana Tattwa. Lebih khusus lagi terkait upacara dan dilaksanakan tujuh hari,tanpa memilih hari Pranawa, berasal dari aksara Om Kara. Nama ini adalah ngaben yang menggunakan huruf suci. Proses pelaksanaannya,jenazah terlebih dahulu dikuburkan. Pada 3 hari sebelum pembakaran mayat, diadakan upacara Ngeplugin alias Bhuanakosa, ngaben dari aliran Dewa Brahma terhadap Rsi Brghu. Swasta, bearti lenyap atau hilang. Ngaben jenis ini dilakukan untuk jenazah yang tidak tau keberadaannya, bisa karena hilang, terkena bencana, meninggal di tempat yang tidak diketahui, dan lain -lain. Sebagai ganti dari jenazah yang hilang tersebut, maka dipakai lah kayu cendana yang telah dilukis dan berisi aksara magis. Lukisan disini dibuat merujuk pada representasi dari badan kasar atma dari orang yang telah meninggal tersebut. Sebagaimana jasad yang dibakar, nantinya kayu cendana itulah yang akan dibakar mewakili jasad orang yang Asti Wedana, prosesi Ngaben yang pelaksanaannya dilakukan setelah jenazah sudah dikubur. Hal ini berbeda dari Ngaben yang biasanya dimana jasad orang meninggal itu tidak dikuburkan terlebih dahulu sebelum upacara dilaksanakan. Jenazah yang sudah dikubur itu nantinya akan dibongkar kembali melalui ritual ngagah, yaitu ritual untuk pengambilan tulang belulang sisa dari si jenazah itu adalah upacara kematian yang diperuntukkan untuk para anak kecil yang masih belum mencapai tunggal Kruron yang secara khusus adalah upacara Ngaben untuk para bayi yang belum sempat melihat dunia secara langsung atau Sawa Wedana dilakukan dengan melibatkan seluruh badan dari orang yang meninggal. Dilakukan pada jasad yang belum dikubur tetapi didiamkan selama 3-7 hari bahkan bisa sampai sebulan sembari menunggu tanggal bagus untuk melaksanakan upacara Ngaben ini. Selama masa menunggu itu, si jenazah diletakkan di balai adat dan juga telah diberi ramuan atau formalin guna memperlambat pembusukan. Jasad tersebut juga diberi makan layaknya orang hidup karena hanya dianggap Ngaben yang merupakan adat istiadat terkait upacara kematian yang masih kental dilaksanakan di Bali. Pelaksanaannya yang begitu megah dan unik menjadikannya diketahui oleh seluruh penjuru negeri. Upacara adat semacam inilah yang perlu dijaga kelestariannya mengingat kekentalan budaya yang masih sangat terlihat di segala aspek. Upacara ini pula dilaksanakan dengan tata cara khusus sesuai dengan ritual keagamaan di Bali dan tidak boleh dilakukan secara lainnya tentang Peninggalan Sejarah Bali Pura Besakih, Pura Terbesar di Bali dengan Keindahan MagisnyaKeunikan Sejarah yang Dimiliki Pura Tanah Lot Bali
- Ngaben merupakan upacara keagamaan yang dilakukan oleh umat Hindu. Menurut Pemerintah Kabupaten Buleleng dalam laman Ngaben adalah upacara pembakaran jenazah umat HIndu di Bali Upacara ini merupakan ritual keagamaan yang tertujuan untuk memulangkan roh leluhur ke tempat asalnya. Istilah Ngaben dalam bahasa Bali memiliki konotasi bahasa halus yang disebut Palebon. Palebon beradal dari kata lebu pratiwi atau tanah. Kemudian, kata palebon memiliki makna melebur menjadi pratiwi abu dan tanah. Dalam tradisi tersebut, ada dua cara untuk mengembalikan seseorang menjadi tanah yaitu dengan cara membakar ngaben dan menanam ke dalam tanah metanem. Berikut ini informasi tentang tradisi Ngaben di Bali. Baca juga Aturan Ngaben di Tengah Pandemi Virus Corona Apa tujuan upacara Ngaben? Seperti yang telah dijelaskan sedikit di atas, upacara Ngaben bertujuan untuk mempercepat tubuh raga sarira kembali ke asalnya yaitu panca maha buthadi alam lima unsur dasar zat yang menyusun manusia dari alam semesta. Dalam ajaran agama Hindu, landasan filosofis dari tradisi Ngaben adalah panca sradha yang terdiri dari lima kerangka dasar Agama Hindu yaitu Brahman, Atman, Karmaphala, Samsara, dan Moksa. Upacara Ngaben secara khusus dilaksanakan sebagai wujud cinta kepada leluhur dan bakti anak kepada orangtua. Ngaben juga disebut sebagai pitra yadnya lontar yama purwana tattwa. Pitra berarti leluhur atau orang yang meninggal.
Lokasi upacara Ngaben Massal Arak arakan menuju lokasi Ngaben Massal Pemimpin ritual upacara Ngaben Massal Foto jenazah yang akan diupacarakan Persembahan untuk jenazah GAMELAN mulai ditabuh. Beramai-ramai menara pengusung jenazah diangkat. Arak-arakan berjalan riuh dan orang-orang berjejalan ingin menonton. Mereka hendak turut mengantarkan seorang yang baru meninggal ke tempat pembakaran jenazah. Dilebur dengan api menjadi abu, ngaben. Upacara sakral sekaligus semarak ini sudah identik dengan Bali. Ritual wajib bagi orang Hindu Bali jika keluarga meninggal sekaligus menjadi daya tarik wisata pulau dewata. Orang Bali percaya, ngaben dapat menyucikan roh anggota keluarga yang sudah meninggal dunia menuju ke tempat peristirahatan terakhir. Menurut I Nyoman Singgin Wikarman dalam Ngaben Upacara dari Tingkat Sederhana sampai Utama, kata “ngaben” berasal dari kata “beya” yang artinya bekal. Ngaben disebut juga palebon yang berasal dari kata “lebu” yang berarti prathiwi atau tanah debu. Untuk membuat tubuh manusia meninggal dunia menjadi tanah, salah satunya dengan dibakar. Dalam ajaran Hindu, selain dipercaya sebagai dewa pencipta, Dewa Brahma memiliki wujud sebagai Dewa Api. Jadi upacara ngaben adalah proses penyucian roh dengan cara dibakar menggunakan api agar bisa kembali ke Sang Pencipta. Api yang membakar dipercaya sebagai penjelmaan Dewa Brahma. Api akan membakar semua kekotoran yang melekat pada jasad dan roh orang yang telah meninggal dunia. Orang Hindu Upacara sakral percaya bahwa manusia terdiri dari tiga lapisan yakni raga sarira, suksma sarira, dan antahkarana sarira. Raga sarira adalah badan kasar atau tubuh fisik manusia. Suksma sarira adalah badan astral berupa pikiran, perasaaan, keinginan, dan nafsu. Sedangkan antahkarana sarira adalah yang menyebabkan hidup atau Sanghyang Atma. Ketika manusia meninggal, badan tidak dapat difungsikan lagi. Sementara atma jiwa/roh yang sudah terlalu lama dalam tubuh dan dikungkung suksma sarira harus segera meninggalkan badan. Karena jika terlalu lama, atma akan menderita. Manusia yang telah meninggal dunia perlu diupacarakan untuk mempercepat proses kembalinya badan kasar ke sumbernya di alam, yakni panca mahabhuta pertiwi tanah, apah air, teja api, bayu udara, dan akasa ruang. “Proses inilah yang disebut Ngaben,” tulis I Nyoman Singgin Wikarman. Jika ngaben ditunda terlalu lama, rohnya akan gentayangan dan menjadi bhuta cuwil. Demikian pula bila yang orang meninggal dunia dikubur di tanah tanpa upacara yang patut. Hal itu disebabkan karena roh-roh tersebut belum melepaskan keterikatannya dengan alam manusia. Maka, perlu diadakan upacara ngaben bhuta cuwil. Menurut Leo Howe dalam The Changing World of Bali, Religion, Society and Tourism, ngaben termasuk upacara mahal. Mereka yang memiliki cukup dana harus segera melaksanakannya. Jika yang meninggal dunia seorang pendeta, maka harus segera dingaben dan tidak boleh menyentuh tanah. Dalam upacara ngaben, seluruh penghuni banjar setingkat rukun warga harus membantu dalam persiapan. Banyak persembahan yang disiapkan dan berbagai keperluan arak-arakan yang dibuat. Dua hal penting yang harus dibuat adalah badé dan patulangan. Badé ialah menara mirip pagoda dengan jumlah ganjil untuk mengusung jenazah. Patulangan merupakan sarkofagus dengan bentuk hewan atau makhluk mitologi tempat jenazah nantinya dikremasi. Badé dan patulangan memiliki ukuran dan bentuk beragam yang menunjukan status sosial almarhum. Bahkan sejak tahun 2000-an muncul fenomena badé beroda. Yakni badé yang dipasangi roda agar bisa didorong. Badé beroda memungkinkan prosesi ngaben menjadi lebih sederhana tanpa perlu banyak tenaga dan kelengkapan lain yang menelan banyak biaya. Upacara ngaben akan dimulai dengan arak-arakan. Masing-masing keluarga membawa foto mendiang atau jasad yang akan diaben. Bunyi gamelan Bali ikut mengiringi rombongan sampai ke lokasi ngaben. Setelah jasad diaben atau dibakar, sisa abu dari pembakaran dimasukkan ke dalam buah kelapa gading untuk dilarung ke laut atau sungai yang dianggap suci. “Kremasi diikuti oleh ritus lebih lanjut dengan interval yang kadang-kadang berlangsung bertahun-tahun ke depan. Semua dirancang untuk memastikan jenazah duduk di tempat peristirahatan terakhir dengan leluhur, di mana ia akan bereinkarnasi,” jelas Howe. Bagi mereka yang belum memiliki biaya, jenazah biasanya dikuburkan terlebih dahulu. Ngaben bisa dilakukan bertahun-tahun kemudian setelah keluarga almarhum memiliki cukup dana. “Jika almarhum telah dikuburkan untuk sementara waktu, jenazahnya dibongkar, meskipun dalam upacara yang paling sederhana hanya sebagian tanah dari kuburan yang dikumpulkan,” tulis Howe. Upacara ngaben massal atau kolektif juga bisa diadakan. Pihak keluarga dapat melaksanakan ritual dengan membayar sejumlah uang atau bahkan gratis jika memang benar-benar tidak mampu. Meski demikian, ngaben massal tetap dilakukan tanpa menghilangkan esensi dari tradisi ngaben itu sendiri. Ngaben di Bali ternyata bukan hanya dilakukan dengan membakar jenazah. Ada juga upacara mengubur jenazah yang dikenal dengan istilah ngaben beya tanem. Tradisi ini dilakukan turun-temurun oleh masyarakat Bali yang tinggal di daerah pegunungan. Upacara ini tak lepas dari unsur-unsur upacara pada zaman prasejarah hingga masa Bali Kuno sebelum masuknya pengaruh agama Hindu dari Majapahit. Made Dharmawan dalam Studi Komparasi Ngaben Beya Tanem dengan Ngaben Bakar Kajian Tradisi dan Sastra menyebut masyarakat percaya bahwa pura kahyangan jagat atau gunung adalah suci sehingga tak boleh ada asap hasil pembakaran jenazah melewati gunung atau pura tersebut. Ada pula yang mengatakan ngaben beya tanem sebagai bentuk penolakan terhadap pengaruh ajaran Majapahit. Sama seperti “ngaben bakar”, prosesi ngaben beya tanem juga menggunakan api berupa dupa. Api ini berperan sebagai saksi bahwa telah dilaksanakan proses peleburan atau pengembalian unsur panca mahabhuta ke asalnya. Jadi, ngaben beya tanem juga punya tujuan yang sama dengan ngaben bakar.* Artikel Terkait
Sistem sosial dalam masyarakat Bali terwujud dalam berbagai bentuk lembaga tradisionil seperti desa adat, banjar, subak, sekaha, dadia yang merupakan bagian dari kebudayaan dan sekaligus lembaga kebudayaan Bali, serta organisasi yang mewadahi berbagai aktivitas kebudayaan Geriya, 2008147. Upacara ngaben mengikuti ritual-ritual tertentu yang jumlahnya disesuaikan dengan tingkatan ngaben. Banyaknya ritual tersebut tergantung dari posisi sosial dari keluarga yang menyelenggarakan upacara tersebut. Pada masyarakat Hindu Bali, stratiikasi sosial ditentukan oleh banyak hal. Yang paling umum adalah kasta, kemudian silsilah, kemampuan ekonomi, dan juga peran serta posisi keluarga pada struktur sosial. Hal inilah yang akan menentukan kuantitas dan kualitas ritual yang dilaksanakan dan selanjutnya berpengaruh kepada proses interaksi sosial yang terjadi pada pelaksanaan upacara ngaben tersebut. Kerjasama Interaksi sosial merupakan ciri dari adanya kehidupan masyarakat. Dalam kehidupan demikian, pasti akan ada komunikasi di antara anggota masyarakat, baik antara individu dengan individu, individu dengan kelompok maupun kelompok dengan kelompok. Adanya komunikasi juga memastikan adanya kontak antara komponen- komponen masyarakat tersebut. Berbagai interaksi sosial yang ada di dalam masyarakat tersebut mempunyai tiga bentuk pada umumnya. Bentuk yang pertama adalah interaksi adalah kerjasama, persaingan kompetisi, dan yang terakhir adalah konlik Soekanto, 200370. Ritual upacara ngaben yang berlangsung pada masyarakat Hindu di Bali, sesungguhnya merupakan kumpulan atau sistematika kerjasama. Dengan wujud-wujud kerjasama tersebut, upacara ini mampu berlangsung sampai selesai. Etos yang paling kelihatan dari kerjasama tersebut adalag gotong royong. Sebagai kegiatan kepercayaan keagamaan, ngaben ini mempunyai pentahapan, misalnya memandikan jenazah, menyembahyangkan jenazah, membakar, dan kemudian membuang abunya ke sungai atau ke laut. Tetapi sebagai sebuah kegiatan kebudayaan, ngaben ini penuh dengan pentahapan kerja sosial yang memerlukan kerjasama antar komponen masyarakat. Banyaknya sarana upacara yang dibuat memerlukan pentahapan- pentahapan kerjasama dalam ritual upacara ngaben tersebut. Interaksi sosial yang paling kelihatan pada masyarakat di saat melangsungkan upacara ngaben adalah gotong royong. Keseluruhan ritual ngaben, mulai dari tahap yang paling awal, yaitu membuat berbagai perlengkapan upacara, memandikan jenazah, membakar jenazah sampai dengan membuang debu ke sungai, adalah proses kerjasama dalam ritual ngaben. Charles H. Cooley menyebutkan bahwa kerjasama timbul apabila orang menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingan yang sama dan pada saat yang bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian pada diri sendiri untuk memenuhi kepentingan tersebut. Kesadaran akan adanya kepentingan-kepentingan yang sama dan adanya organisasi merupakan fakta-fakta yang penting dalam kerjasama yang berguna Soejono Soekanto, 200373. Ritual ngaben merupakan upacara yang pasti dilakukan dalam masyarakat Hindu Bali. Seperti yang telah diutarakan pada bagian awal dalam bab ini, upacara ini mengandung makna meengembalikan jazad manusia menuju asalnya. Asal yang dimaksudkan di sini adalah alam semesta yang dalam konsepsi Hindu Bali disebut dengan makrokosmos. Langkah selanjutnya setelah mengembalikan jazad manusia menuju alam semesta, yakni mengembalikan roh yang telah lepas dari jazad manusia tersebut menuju alam pitra, yaitu alam dimana dipandang tempat Tuhan bersemayam. Ini merupakan tujuan akhir dari seluruh kematian dalam konsep Hindu Bali. Karena itu, upacara ngaben itu adalah sebuah kepastian dalam masyarakat Hindu Bali. Sebagai sebuah kebudayaan, ngaben terlihat pada ritual dan berbagai kelengkapan ritual tersebut. Ritual ini sangat dipengaruhi oleh adat istiadat setempat, kebiasaan di daerah mana upacara tersebut diselenggarakan dan juga dari identitas sosial keluarga dari pihak yang diaben tersebut. Dua faktor ini, ditambah dengan berbagai sarana yang diperlukan dalam setiap ritual tersebut, membuat upacara ngaben di Bali berlangsung rumit yang memerlukan banyak tenaga dan waktu untuk mengerjakannya. Beberapa peralatan dan tahapan- tahapan tentang upacara ngaben telah diutarakan di atas. Dengan melihat konteks demikian, mau tidak mau upacara ngaben tersebut sangat tergantung dari bantuan orang lain. Karena upacara ngaben merupakan sebuah keharusan dan kepastian dalam kepercayaan masyarakat Hindu Bali, maka setiap anggota masyarakat Hindu pasti akan melakukannya dan pasti akan memerlukan bantuan dari pihak lain. Kondisi inilah yang dalam pandangan Cooley melahirkan kepentingan-kepentingan yang sama sekaligus kesadaran dan pengetahuan tentang kepentingan-kepentingan yang sama tersebut. Bagaimanapun keadaannya, masyarakat akan berusaha untuk menyediakan diri dan waktu untuk ikut terlibat dalam upacara ngaben tersebut agar kelak juga diperlakukan dengan cara yang sama oleh orang lain jika kelak melaksanakan upacara ngaben. Penyelenggaraan upacara ngaben di Banjar Penyalin, Samsam, Kecamatan Kerambitan, Kabupaten Tabanan misalnya, secara garis besar terbagi menjadi empat komponen pekerjaan. Yang pertama adalah pembersihan dan penghiasan, pembuatan sarana upacara pengabenan dan pembuatan serta persiapan sarana boga makanan. Masing-masing komponen ini juga mempunyai pembagian lagi, misalnya dalam hal pembersihan terbagi menjadi pembersihan di rumah pekarangan pemilik jenazah dan di luar rumah pekarangan. Pembersihan di rumah termasuk membersihkan rumah dan membuat lokasi tamu dan pelayat yang akan datang menuju tempat ngaben. Di luar rumah, termasuk membersihkan jalan menuju kuburan, membersihkan kuburan dari semak-semak. Pembuatan sarana upacara ngaben lebih banyak lagi jenisnya dan berlapis-lapis. Dan ini memerlukan tidak saja keterlibatan kaum pria tetapi juga wanita. Pembuatan pepaga, yaitu tempat memandikan jenazah, memerlukan lima orang tenaga laki-laki. Membuat sarana upakaranya juga memerlukan lima orang perempuan. Fenomena seperti ini, tidak saja terjadi di Banjar Penyalin, Tabanan tetapi juga telah jamak dimana-mana di lingkungan masyarakat Hindu di Bali dan setiap keluarga Hindu yang melaksanakan upacara ngaben pasti akan mengalami dan melakukan hal yang sama. Hal inilah melahirkan kesadaran atas kepentingan bersama tersebut dan kemudian membentuk kesatuan gotong royong pada upacara ngaben dan juga upacara keagamaan lain pada masyarakat Hindu di Bali. Masyarakat Hindu Bali mengenal konsep kehidupan bersama yang disebut dengan Sagalak Saguluk, Salunglung Sabayantaka. Arti sosialnya adalah bahwa setiap memecahkan masalah haruslah dilakukan secara bersama-sama dalam suka dan duka. Pekerjaan gotong royong dalam upacara ngaben dan juga upacara keagamaan yang lain menyungsung konsep tersebut. Mengutip Helms, Geertz menyebutkan bahwa pada ngaben tersebut ada tiga ledakan energi yang dahsyat, yakni energi sosial, energi estetik, energi alami Geertz, 2000227. Geertz menyebutkan energi sosial itu pada arak-arakan yang dilakukan pada saat mengangkut bade menuju kuburan. Sedangkan energi estetika disebutkannya menara bade yang diangkut beramai-ramai menuju kuburan dan energi alami adalah api yang membakar jenazah di kuburan. Apa yang diungkapkan oleh Helms tersebut sesungguhnya bisa dilebarkan lagi. Energi sosial tersebut tidak lain adalah keterlibatan begitu banyak masyarakat pada upacara ngaben. Massa yang terlibat ini tidak hanya pada arak-arakan massa menggotong menara bade tempat mengusung jenazah menuju kuburan. Energi massa tersebut juga terlihat di rumah penyelenggara upacara ngaben. Misalnya dalam membuat boga yaitu makanan untuk para pelayat, juga melibatkan massa yang banyak, yang jumlahnya mencapai puluhan orang dan terbagi secara sistematis. Sitematika tersebut mengikuti jenis-jenis makanan yang dibuat. Energi sosial juga muncul dalam pembuatan berbagai sarana upacara. Desa Batuaji Kawan, Kecamatan Kerambitan, Tabanan misalnya membuat sarana upakara ini dengan melibatkan seluruh wanita di desa tersebut. Satu orang wanita wajib bekerja gotong royong dalam mengerjakan sarana upacara ini jika ada kegiatan keagamaan. Ini sudah diatur dalam aturan banjar. Demikian juga halnya dengan aturan yang ada di Banjar Selingsing, Desa Pangkung Karung, Kecamatan Kerambitan, Tabanan. Berbagai keragaman dan kompleksitas pekerjaan dalam upacara keagamaan ini diatur oleh organisasi adat. Masing-masing banjar atau desa di Bali disatukan dalam organisasi yang disebut dengan banjar adat atau desa adat. Organisasi ini, melalui kelihan adat pemimpin organisasi ini akan membagi masyarakat anggota ke dalam kelompok- kelompok tertentu yang bisa disebut kecik atau juga tempekan dengan tugas-tugas tertentu jika ada upacara adat seperti misalnya ngaben yang diselenggarakan. Organisasi adat menjadi pemegang kekuasaan dalam mengatur kerja sosial yang ada di desa adat atau banjar adat dan anggota masyarakat tunduk dengan aturan yang dibuat tersebut. Kerjasama dalam upacara ngaben tidak hanya bisa berlangsung di dalam upacara ngaben itu sendiri tetapi juga berlangsung antara pihak-pihak yang melaksanakan upacara ngaben. Dua atau lebih keluarga akan bergabung untuk melaksanakan upacara ngaben secara bersama. Pada upacara ngaben di Bali, ini sering disebut dengan ngaben ngerit, yaitu ngaben yang dilakukan oleh banyak keluarga. Dalam konteks ngaben, tujuan bersamanya adalah mengembalikan jazad manusia menuju asalnya, yaitu Panca Maha Bhuta Agung atau alam makrokosmos. Ngaben ngerit pada umumnya merupakan gabungan antara belasan sampai puluhan jenazah yang diaben. Jenazah tersebut bisa berbentuk jenazah yang telah digali dari kuburnya lagi atau hanya merupakan simbol belaka. Penggabungan ritual upacara seperti ini dipengaruhi oleh dua faktor. Yang pertama adalah norma-norma dalam masyarakat Hindu Bali, seperti adanya keharusan agar setiap kuburan Hindu di Bali bersih jika ada upacara keagamaan di Pura Besakih, yang merupakan tempat persembahyangan umat Hindu terbesar di Bali. Upacara keagamaan yang dipandang besar di tempat persembahyangan tersebut adalah Eka Dasa Ludra dan Panca Wali Dasa Ludra merupakan upacara yang datangnya 10 tahun sekali sedangkan Panca Wali Krama datangnya setiap lima tahun sekali. Kedua upacara ini mempunyai makna penyucian alam. Karena itu, setiap lima tahun sekali umat Hindu akan melaksanakan upacara ngaben ngerit. Faktor kedua adalah bertujuan untuk mengirit biaya. Dalam upacara seperti ini, dimungkinkan untuk mengirit biaya ekonomis dari masing-masing peserta ngaben. James D. Thomson dan William J. McEwen menyebutkan koalisi merupakan bentuk dari kerjasama. Koalisi memperlihatkan adanya penggabungan dua organisasi atau lebih yang mempunyai tujuan-tujuan yang sama. Koalisi dapat menghasilkan keadaan yang tidak stabil untuk sementara waktu karena dua organisasi tersebut kemungkinan mempunyai struktur yang tidak sama. Tetapi karena maksud utama adalah untuk mencapai satu atau beberapa tujuan bersama, maka sifatnya adalah kooperatif Soekanto, 200375. Jelas ada perjanjian-perjanian sebelumnya yang dilakukan antara pihak- pihak yang telah melakukan kerjasama tersebut. Upacara ngaben ngerit ini adalah upaya koalisi karena pada hakekatnya keluarga-keluarga yang bergabung dan bersepakat untuk melakukan ngaben itu adalah sebuah organisasi. Dengan demikian, ngaben ngerit ini pada pokoknya adalah bentuk koalisi sosial dengan tujuan untuk melaksanakan upacara ngaben. Biaya ekonomi yang bisa ditekan cukup signiikan. Pada upacara ngaben ngerit yang berlangsung di beberapa banjar di Tabanan tahun 2006, setiap keluarga yang ikut dalam ngaben tersebut hanya menyumbang biaya ekonomi sebesar rupiah. Biaya ini identik dengan seperseratus dari ngaben- ngaben konvensional yang biasanya berlangsung di Bali. Keuntungan lain dari ngaben jenis ini adalah mampu ditekannya konlik yang diakibatkan oleh rasa iri atau persaingan antara satu keluarga dengan keluarga lainnya. Tanggungjawab bersama yang diemban oleh masing-masing pemilik jenazah membuat ritual ngaben seperti ini berlangsung lancar. Meski upacara ngaben jenis ini mampu menekan biaya ekonomi, tetapi biaya sosial tetap tidak mampu ditekan sampai batas maksimal. Misalnya rangkaian upacara tetap bisa berlangsung sampai lebih dari seminggu, menggunakan kuburan kampung atau upaya kerja sosial yang memakan banyak waktu. Kepemilikan Bersama Kepemilikan bersama yang dimaksudkan di sini adalah barang atau benda yang bisa dipergunakan bersama-sama dalam melakukan atau menandai adanya sebuah ritual keagamaan dalam masyarakat Hindu di Bali. Pada masyarakat tradisionil Hindu Bali, benda tersebut bisa berbentuk material dan non-material. Aspek materialnya bisa dilihat seperti misalnya kuburan, bale banjar balai rukun warga, kentongan, sarana-sarana yang mampu mempermudah jalannya upacara seperti kompor serta alat lain yang dipakai untuk memasak. Sedangkan aspek non-materialnya berupa aturan normatif dan kesepakatan. Ini misalnya terlihat pada makna bunyi kentongan dan sebelan bersama. Sebelan bersama ini bermakna pengakuan atas kehilangan secara bersama-sama atas peristiwa kematian. Intinya adalah duka dan solidaritas bersama. Duka bersama ini diterapkan secara berlapis dan sistematis. Pertama sebelan tersebut berlaku untuk keluarga batih, yaitu keluarga inti dari pihak yang meninggal dan melaksanakan upacara ngaben. Selanjutnya pada keluarga besar, pada tingkat dadya yang dilacak lewat keturunan dengan garis laki-laki sebatas merajan gede. Ketiga diterapkan pada komunitas banjar, yakni lingkungan kampung dimana mereka berdomisili. Konsep dan praktik sebelan ini hanya berlangsung pada masyarakat yang beragama Hindu. Apabila sebelan itu telah diterapkan, maka segenap upacara keagamaan yang berlangsung di pura atau tempat sembahyang yang ada di kampung tersebut, akan dihentikan. Demikian pula, semua pihak yang terkena sebelan tersebut, tidak akan melakukan persembahyangan. Berlakunya jangka waktu sebelan tersebut, berbeda-beda tergantung praktik kebiasaan setempat. Di Denpasar, jangka waktu itu akan berakhir dua belas hari setelah pelaksanaan upacara pengabenan selesai. Tetapi jangka waktu 12 hari itu hanya berlaku untuk keluarga batih dan keluarga besar. Tetapi untuk komunitas masyarakat banjar adat, itu hanya berlangsung tiga hari. Di Banjar Penyalin, Tabanan juga diterapkan hal yang sama. Suara dan irama bunyi kentongan, mempunyai makna normatif bagi masyarakat Hindu Bali. Dalam hubungannya dengan upacara ngaben atau kematian, irama kentongan yang berimana runtut tiga kali yang diselingi jeda, kemudian runtut tiga kali tersebut, merupakan tanda kesepakatan bahwa di wilayah tersebut ada kejadian kematian. Bunyi kentongan tersebut, sekaligus merupakan pertanda awal dari berlakunya sebelan, duka bersama dan solidaritas bersama tersebut dimulai. Sebagai komunitas yang dibentuk berdasarkan solidaritas bersama dengan asas gotong royong, suka-duka, yang dalam bahasa Bali disebut dengan segalak seguluk salunglung sabayantaka,banjar adat di Bali mempunyai kekayaan seperti kuburan, bangunan balai banjar tanah adat, serta alat-alat yang mampu membantu memperlancar jalannya upacara adat. Kepemilikan ini merupakan ciri dasar dari kosep banjar yang dalam pandangan Geertz, merupakan perluasan dari sekehe. Dalam pandangannya keanggotaan sekehe mendapatkan kontribusi kebutuhan yang sama dengan kelompok Warren, 199310. Ketika berlangsung upacara adat atau agama, seperti halnya upacara ngaben, sebagian besar, bahkan seluruh sarana tersebut difungsikan dan boleh dipergunakan dalam melaksanakan upacara. Fungsi yang paling pokok adalah kuburan. Setiap anggota banjar atau desa adat berhak menggunakan kuburan. Dalam praktik ritual ngaben, barang- barang komplemen seperti kompor masak adalah milik bersama dan bisa dipakai oleh siapa saja warga banjar yang menggelar upacara. Bagi anggota masyarakat yang tidak mempunyai tempat yang mencukupi untuk menampung kegiatan, maka bale banjar akan bisa difungsikan. Di banjar atau desa adat di Denpasar, yang komposisi rumahnya telah sesak, penggunaan bale banjar ini menjadi sangat signiikan. Akhir-akhir ini, terutama di daerah perkotaan desa adat atau desa pakraman juga mempunyai lembaga simpan-pinjam yang disebut dengan LPD Lembaga Perkreditan Desa yang juga mempunyai alat- alat perlengkapan sendiri. Lembaga keuangan ini mempermudah pemberian kredit bagi warga desa yang bersangkutan. Meninggal adalah situasi yang tidak bisa diprediksi, sehingga jika terjadi hal seperti ini dan memutuskan untuk melaksanakan upacara ngaben, keberadaan LPD akan menjadi solusi untuk mendapatkan dana. Keterikatan tradisional ini kelihatan pada hubungan antara masyarakat dengan pendeta. Dalam realitas sosial masyarakat Hindu di Bali, ada keterikatan yang dikonsepkan dengan ini merujuk kepada pendeta yang akan dirujuk sebagai pemimpin upacara pada setiap upacara yang dilakukan oleh masyarakat. Masyarakat di sini disebut dengan sisya. Hal ini sangat berkaitan dengan tradisi yang ditinggalkan oleh leluhur keluarga tersebut. Kebanyakan generasi penerus keluarga akan melanjutkan tradisi ini. Dalam konsep Hindu, pendeta mempunyai tiga fungsi, yaitu memimpin upacara, belajar, dan menggali pengetahuan serta melakukan tugas pendidikan Pendeta Riang Gede, 2008. Dengan konsep seperti ini, seorang pendeta dipandang mempunyai siswa. Siswa inilah yang disebutkan dengan laval sisya. Sedangkan konsep siwa adalah brahmana yang memberikan ajaran Hindu di Bali. Sejarah munculnya Hindu ke Bali ditandai oleh kedatangan dua pendeta, yaitu pendeta Siwa dan pendeta Budha, dua aliran kepercayaan di masa Majapahit yang kemudian dibawa ke Bali Wiana, 1998. Karena berfungsi sebagai pendidik tersebut, maka masyarakat memandang sumber daya dan pengetahuan tentang pelaksanaan upacara keagamaan tetap ada pada pendeta. Setiap ada upacara keagamaan, pendeta tidak hanya akan berfungsi sebagai pemimpin upacara tetapi juga menjadi petunjuk pelaksanaan upacara. Pola ini seperti membuat adanya ketergantungan tradisionil dan menetap antara siwa dan sisya tersebut. Setiap siwa mempunyai sisya di sejumlah wilayah dan akan selalu melakukan pola seperti itu pada setiap melaksanakan upacara. Meski demikian, ketergantungan seperti ini sesungguhnya sedikit bersikap longgar. Dalam keadaan tertentu, boleh saja meminta pendeta yang berbeda untuk melaksanakan upacara. Misalnya, jika siwa yang bersangkutan sedang dalam keadaan sakit atau orientasi griya yang menjadi rujukan tersebut belum mempunyai pendeta. Dengan demikian, masyarakat masih menggantungkan sumber daya dalam upacaranya kepada pendeta. Sumber daya itu bisa berupa pengetahuan untuk melaksanakan upacara, sarana perlengkapannya dan suber daya manusia untuk memimpin upacara tersebut. Kompetisi Gillin dan Gillin mengatakan bahwa kompetisi merupakan proses sosial, dimana individu atau kelompok-kelompok manusia yang bersaing mencari keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan yang pada suatu masa tertentu menjadi pusat perhatian umum baik perorangan maupun kelompok manusia, dengan cara menarik perhatian publik atau dengan memperjuangkan prasangka yang sudah ada tanpa mempergunakan kekerasan atau ancaman Soekanto, 200391. Persaingan mempunyai dua tipe umum, yaitu yang bersifat pribadi dan tidak bersifat pribadi. Salah satu bentuk persaingan itu adalah persaingan kedudukan dan peranan. Di dalam diri seseorang maupun kelompok terdapat keinginan-keinginan untuk diakui sebagai orang atau kelompok yang mempunyai kedudukan serta peranan yang terpandang. Keinginan tersebut dapat terarah pada suatu persamaan derajat dengan kedudukan serta peranan-peranan pihak lain atau bahkan lebih tinggi dari itu Soekanto, 200392. Persaingan mempunyai dua sisi. Yang pertama, adalah persaingan yang bertujuan untuk memburu kemenangan terhadap lawan, atau lebih tegasnya adalah menyingkirkan pihak lawan. Pada titik ini, yang menjadi contohnya adalah persaingan yang disebabkan oleh balas dendam. Dan yang kedua adalah persaingan tanpa upaya menyingkirkan pihak lawan. Pusat perhatiannya adalah tujuan. Misalnya kompetisi dalam olahraga Soekanto, 2002352. Ritual ngaben mempunyai ciri keterbukaan secara sosial. Artinya upacara ini, baik tingkatan kualitas ritual, pelaksanaan prosesinya bisa dilihat dan diketahui secara umum oleh masyarakat. Tahapan- tahapan upacara yang dilakukan, wujud sarana yang dipakai, tingkat kehadiran masyarakat yang terlibat, maupun prosesinya akan dapat dilihat secara total oleh lingkungan masyarakat sekitar. Karena itu pada ritual akan terlihat juga kualitas pribadi dan kedudukan sosial serta peranan keluarga yang melaksanakan upacara tersebut. Karena itu ngaben akan menjadi pusat perhatian umum yang mau tidak mau gengsi perseorangan atau gengsi kelompok dipertaruhkan di sana. Melalui ngaben akan dipertaruhkan nama dan nilai-nilai individu yang membuat upacara ini tidak bisa dilepaskan dari aspek kompetitif. Hindu Bali, mempunyai kaitan yang sangat erat dengan identitas yang melekat pada masyarakat Hindu Bali pada umumnya. Dalam teori-teori identitas, ini lebih banyak menyangkut adanya integritas, koherensi dan kontinuitas yang melekat pada fenomena atau peristiwa tertentu. Dalam level individu ciri-ciri tersebut mampu dipertahankannya secara konsisten dalam pola-pola kehidupannya dalam berbagai tujuan Bellah, 1983 1. Keterulangan dan kontinuitas tersebut bisa dilacak sampai sejarah masa lalu dari fenomena yang bersangkutan. Karena pandangan tersebut, teori identitas kerap sekali berkaitan dengan tradisionalitas meskipun hal tersebut tidak selalu harus berarti demikian. Dalam konteks sosial, identitas tersebut menyangkut tentang struktur seperti kemampuan ekonomi, agama, etnik, gender, usia, dan kependudukan. Ada dua katagori dalam pemahaman tentang identitas, yaitu orientasi dari penulis author oriented dan orientasi pada aktor. Pada hal yang pertama, yaitu author oriented, ia menyebutkan identitas itu mengacu kepada faktor-faktor yang bersifat struktural seperti agama, pendidikan, politik, budaya, pendidikan, dan seterusnya. Sedangkan yang mengacu kepada aktor, identitas itu dikaitkan dengan keaktifan aktor yang memungkinkannya melakukan interaksi baik secara nasional maupun transnasional yang kemudian mempengaruhi individu. Dengan demikian, identitas yang terlihat pada anggota masyarakat Hindu Bali yang selalu melekat, terintegrasi, kontinyu dan terkait dengan hal yang bersifat sejarah adalah kasta, silsilah, nama keluarga serta hal-hal yang berkait dengan peristiwa kesejarahan atau masa lalu. Pelaksanaan upacara ngaben juga tidak bisa dilepaskan dengan aspek kesejarahan
ngaben adalah perwujudan budaya yang masuk dalam kelompok